Perkembangan istilah syar’i di negara ini telah demikian pesatnya, khususnya dalam dunia usaha dan pengembangan modal. Seiring dengan berkembangnya perbankan syariat dan lembaga-lembaga keuangan syariat maka berkembang pula istilah-istilah syar’i yang sebelumnya tidak pernah atau sangat jarang terdengar di telinga masyarakat umum, seperti: jual beli salam.
Banyak pertanyaan mengenai hakikat jual beli ini, namun juga banyak yang menyampaikannya dengan tidak pas dan benar. Ditambah lagi, terdapat beberapa praktik yang menyelisihi hakikat jual beli ini. Hal tersebut mendorong penulisan artikel singkat ini, dengan harapan dapat memberikan pencerahan kepada kaum muslimin tentang hakikat “jual beli salam”.
Hakikat jual beli salam
Kata “salam” berasal dari kata “at-taslim” (التَّسْلِيْم). Kata ini semakna dengan kata “as-salaf” (السَّلَف) [lihat lebih lanjut kitab Min Fiqhi Al-Mu’amalat, hlm. 148, karya Syekh Shalih Al-Fauzan; Syarhu Al-Mumti’, 9:48, karya Syekh Ibnu Utsaimin; Master Textbook of Fiqh Al-Mu’amalat, hlm. 225, Program S2 MEDIU; Al-Fiqh Al-Muyassar, hlm. 92], yang mengandung pengertian ‘memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil di kemudian hari’. Pengertian ini terkandung juga dalam firman Allah Ta’ala,
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئاً بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ
“(Kepada mereka dikatakan), ‘Makan dan minumlah dengan sedap, disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.’” (QS. Al-Haqqah: 24).
Sedangkan, para ulama mendefinisikan “jual beli salam” dengan ungkapan ‘jual beli barang yang disifati (dengan kriteria tertentu/ spesifikasi tertentu), dalam tanggungan (penjual), dengan pembayaran kontan di majelis akad’ (lihat kitab Min Fiqhi Al-Mu’amalat, hlm. 148, karya Syekh Shalih Al-Fauzan). Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa “jual beli salam” adalah ‘akad pemesanan suatu barang yang memiliki kriteria yang telah disepakati, dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan’.
Dengan demikian, “jual beli salam” adalah akad jual beli yang memiliki kekhususan (karakteristik) yang berbeda dari jenis jual beli lainnya, dengan dua hal:
1. Pembayaran dilakukan di awal (secara kontan di majelis akad), dan dari sinilah sehingga “jual beli salam” dinamakan juga “as-salaf”.
2. Serah terima barang oleh pembeli yang membelinya diakhirkan sampai waktu yang telah ditentukan dalam majelis akad (dari kitab Nihayatul Muhtaj Syarah Minhaj Ath-Thalibin, karya Ar-Ramli. Penulis nukil dari artikel Syekh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dalam kitab Buhuts Fiqhiyyah fi Qadhaya Iqtishad Al-Mu’asharah, 1:183).
Para ulama sering mengungkapkan proses akad jual beli semacam ini dengan ungkapan, “Zaid adalah seorang yang menyerahkan seribu dinar kepada Ali untuk menyerahkan lima ton beras.”
Pembeli yang diungkapkan dengan nama “Zaid” dinamakan “al-muslim”, “al-muslif”, atau “rabb as-salam”. Penjual yang diungkapkan dengan nama “Ali” dinamakan “al-muslam ‘ilaihi” atau “al-muslaf ‘ilaihi”. Nilai pembayaran kontan dimuka yang diungkapkan dengan “seribu dinar” dinamakan “modal as-salam” (ra`sumal as-salam). Barang yang dipesan, yang diungkapkan dengan “beras”, dinamakan “al-muslam fihi” atau “dain as-salam” (utang as-salam) [Buhuts Fiqhiyyah fi Qadhayaa Iqtishad Al-Mu’asharah, 1:183].
Artikel www.PengusahaMuslim.com